Mengukur Berat Emas dengan Timbangan Beras

Di sebuah kelas perguruan tinggi, Pak Sugi berdiri di depan mahasiswa sambil memegang sebuah pulpen dan pensil. Dengan senyumnya yang khas, ia bertanya,

“Anak-anak, menurut kalian, mana yang lebih panjang: pulpen atau pensil?”

Mahasiswa serentak menjawab,

“Pulpen, Pak!”

Pak Sugi melanjutkan,

“Oke, kenapa kalian bisa tahu kalau pulpen lebih panjang dari pensil?”

Seorang mahasiswa bernama Ari, yang terkenal sering menjawab asal tapi lucu, dengan percaya diri menjawab,

“Karena pensil lebih pendek dari pulpen, Pak!”

Kelas langsung terdiam. Beberapa mahasiswa menahan tawa sambil menunggu respon Pak Sugi. Dengan tenang, Pak Sugi menatap Ari sambil berkata,

“Ari, kalau kamu ditanya kenapa nasi goreng lebih enak dari bakso, trus kamu jawab, ‘Karena bakso lebih nggak enak dari nasi goreng,’ itu kan sama saja kayak muter-muter di tempat. Kamu nggak benar-benar menjawab, kan?”

Kelas pun meledak dengan tawa. Ari nyengir sambil garuk-garuk kepala.

“Hehe, iya juga ya, Pak.”

Pak Sugi melanjutkan dengan nada lebih serius.

“Tapi, sebenarnya jawaban Ari ada benarnya. Ketika kita ingin tahu mana yang lebih panjang atau pendek, kita memang harus membandingkan satu objek dengan objek lainnya. Kalau cuma ada pensil tanpa pembanding, kita nggak bisa bilang pensil itu pendek atau panjang.”

Semua mahasiswa mengangguk, mulai paham arah pembicaraan. Lalu Pak Sugi mengangkat penggaris 30 cm. 

“Nah, kalau kita ingin mengukur panjang pensil atau pulpen, kita butuh penggaris seperti ini. Pertanyaannya, bisa nggak kita pakai meteran besar untuk mengukur pensil?”

Salah satu mahasiswa menjawab,

“Bisa, Pak, tapi nggak efektif.”

“Betul! Bisa saja, tapi hasilnya nggak praktis. Sekarang, kalau kalian mau mengukur lingkar pinggang, apakah pakai penggaris ini?”

Seorang mahasiswa lain menjawab sambil tertawa,

“Nggak mungkin, Pak. Harus pakai meteran pita seperti yang penjahit pakai.”

“Pintar! Begitu juga kalau kalian ingin tahu berat emas beberapa gram. Masa pakai timbangan beras? Kan nggak akurat. Sama saja kayak kalian ingin tahu suhu ruangan, tapi pakai penggaris. Itu malah nggak nyambung.”

Pak Sugi berhenti sejenak, memandang seluruh kelas, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih mendalam.

“Nah, hal ini sama seperti hidup kita. Kita sering mengukur keberhasilan diri sendiri dengan penggaris yang salah. Misalnya, kalian ngelihat media sosial orang lain, terus kalian merasa gagal hanya karena mereka terlihat lebih sukses. Padahal, kalian dan mereka memulai perjalanan hidup di titik yang berbeda. Itu seperti mengukur emas pakai timbangan beras. Nggak nyambung, kan?”

Mahasiswa mulai mengangguk-angguk. Beberapa bahkan terlihat termenung, merenungkan kata-kata Pak Sugi.

“Bisa jadi, kalian ini seperti emas. Kalau begitu, jangan ukur diri kalian dengan cara yang sama seperti kalian mengukur beras. Apalagi kalau kalian mengukurnya pakai meteran, makin nggak masuk akal. Mengukur diri itu penting, tapi harus sesuai dengan instrumen dan konteksnya.”

Ari tiba-tiba bertanya,

“Jadi, Pak, kita harus pakai instrumen apa untuk ngukur keberhasilan?”

Pak Sugi tersenyum.

“Instrumen yang tepat itu adalah proses. Fokus pada proses kalian sendiri, bukan terus-terusan membandingkan hasil dengan orang lain. Kalau kalian terus melihat ke kiri-kanan untuk membandingkan, kalian malah nggak maju. Keberhasilan sejati itu adalah ketika kalian terus bergerak maju dari versi diri kalian yang kemarin.”

Seluruh kelas terdiam. Kali ini bukan karena kebingungan, tapi karena mereka benar-benar terinspirasi.

Sebelum meninggalkan kelas, Pak Sugi menutup dengan kalimat tegas,

“Jadi, mulai sekarang, jangan ukur diri kalian dengan penggaris orang lain. Fokus pada penggaris yang sesuai, yaitu diri kalian sendiri dan perjalanan yang sedang kalian tempuh.”

Mahasiswa pun bertepuk tangan. Beberapa dari mereka tersenyum sambil mencatat pelajaran berharga itu di buku mereka. Ari, yang biasanya paling santai, kali ini ikut mencatat dengan serius.

Penulis: wisnu.sept

Posting Komentar

0 Komentar