Risalah Damai Untuk Semesta-Islam Sebagai Guru Peradaban

Sejarah membuktikan, Islam yang tegak dalam satu wilayah selalu mengayomi umat lain. Jauh lebih bermakna dari sekedar toleransi. Sebaliknya, umat Islam selalu menjadi korban (victim) ketika menjadi minoritas, seperti terjadi di Andalusia. Wujud pengayoman itu bisa dilihat dalam beberapa aspek.

Pertama, perlindungan terhadap hak asasi manusia. Perbedaan agama, bukan berarti melanggar hak-hak yang mesti dipenuhi kepada non-Muslim. Ketika iring-iringan jenazah seorang Yahudi lewat di hadapan Rasulullah saw, beliau berdiri. Ketika ditanya Rasul saw balik menyoal, “Bukankah dia seorang manusia?” (HR Bukhari 2/86). Bahkan, Rasulullah saw dikisahkan pernah menjenguk anak seorang Yahudi yang sedang sakit.

Kedua, kebebasan berkeyakinan dan manjalankan agama yang dianut. “Tak ada paksaan dalam agama,” (QS al-Baqarah: 256). Pemaksaan keyakinan bertentangan prinsip ketulusan dalam berakidah yang diajarkan Islam. Sebuah keyakinan harus dianut dengan sepenuh hati. Bukan lewat tekanan, tapi dengan ketulusan menjalankan nilai-nilai luhur Islam.

Dalam konteks ini, Khalifah Umar pernah menetapkan Undang-Undang Perlindungan terhadap kaum Nasrani di Palestina. Beberapa pasalnya, dikutip at-Thabary dalam Tarikh Thabary (3/159): Memberikan keamanan terhadap jiwa dan harta mereka, gereja tidak boleh dijadikan tempat tinggal, tidak boleh dirusak apalagi dihancurkan, tidak memaksa mereka masuk Islam, dan lainnya. Cendikiawan Barat seperti Gustave Lebon, Rubstein dan Sir Thomas Arnold, akhirnya mengakui, belum ada toleransi sebesar ini yang pernah diberikan oleh peradaban manusia.

Ketiga, memberikan perlindungan dari gangguan musuh. Syariat Islam mengharuskan perlindungan terhadap Ahli Dzimmah dari gangguan musuh mereka. Ini disebabkan oleh berbagai literatur hukum Islam seperti Mathalib Ulin-nuha (II/602-603) dan Al-Furuq (III/14-15), masing-masing referensi dalam mahzab Hambali dan Maliky. Selain itu, Ibnu Hazm, ulama Andalusia sekaligus tokoh madzhab adz-Dzahiry menyebutkan dalam Maratib al-Ijma, kaum Muslimin wajib memerangi musuh yang menyerang Ahli Dzimmah.

Penjelasan para ulama di atas bukan pepesan kosong. Ini dibuktikan ketika tentara Tartar menawan kaum Muslimin dan Ahli Dzimmah. Seperti dikutip Dr. Yusuf al-Qaradhawy dalam Gahirul Muslimin fil Mujtma’ al –Islamy, Ibnu Taimiyah menemui panglima Tartar untuk bernegosiasi soal tawanan. Hasilnya, kaum Muslimin dibebaskan dan Ahli Dzimmah tetap ditawan. Mendengar hal itu, Ibnu Taimiyah berkata tegas, “Kami tidak rela kecuali dengan membebaskan semua tawanan dari kalangan Yahudi dan Nasrani...Kami tidak ingin meninggalkan seorang pun untuk menjadi tawanan, Muslim atau non-Muslim.” Semua tawanan akhirnya dibebaskan.

Berbagai penjelasan ini amat penting dipahami oleh umat agar tak tertipu oleh jargon perlindungan minoritas yang disuarakan Barat. Umat Islam jauh lebih siap menjadi “guru peradaban” daripada Barat yang sering menjilat ludah sendiri. Betapa suara-suara kebebasan dan demokrasi ala Barat dihembuskan bersama dengan rudal-rudal yang menewaskan orang-orang tak berdosa. Seandainya saja mereka lebih beradab?

Penulis
Nurkholis Ridwan

Posting Komentar

0 Komentar