Pertemuan yang Menghilangkan Canggung
Rangka telah berada di Malang selama satu minggu untuk menyelesaikan ujian tesisnya. Meski jaraknya cukup dekat dengan Mojokerto, tempat keluarganya tinggal, ia tidak menghubungi mereka. Ada rasa canggung yang mengganjal, ketakutan bahwa keberadaannya justru mengganggu rutinitas keluarganya di sana. Namun, ketenangan ini mendadak terusik saat ponselnya berdering. Nama sang paman tertera di layar.
"Halo, Paman," sapa Rangka dengan suara sedikit ragu.
"Rangka, apa kabar? Gimana ujian tesismu?" suara pamannya terdengar hangat.
"Baik, Paman. Ujian baru selesai kemarin," jawab Rangka singkat.
"Kapan mau mampir ke rumah Nenek? Dia dari tadi tanya-tanya soal kamu." Mendadak suara di seberang berubah. Suara wanita tua yang khas menggema, disertai nada yang terdengar seperti marah.
"Kapan kamu ke sini, Nak? Sudah lama sekali kita nggak ketemu!" suara neneknya membuat Rangka terdiam sejenak. Intonasinya berbeda dari biasanya.
"Iya, Nek. Saya janji, lusa saya ke sana," jawab Rangka, mencoba menenangkan hatinya yang mendadak sesak.
Pamannya kembali mengambil alih telepon, menyarankan agar Rangka menghubungi adik pamannya, Wawan, yang tinggal di Malang. Rangka segera melakukannya, dan Wawan pun setuju untuk menjemputnya lusa.
Setelah menutup telepon, Rangka termenung. Ia mulai membayangkan seperti apa reaksi nenek dan kakeknya nanti. Apakah mereka benar-benar marah? Ataukah mereka hanya rindu karena sudah lama tidak bertemu?
Perjalanan ke Mojokerto
Hari yang dinanti tiba. Jam di ponselnya menunjukkan pukul 11.00 WIB. Cuaca mendung, tetapi tidak hujan. Rangka mulai membereskan barang-barangnya. Dari lantai dua ia menuju ke lantai bawah, melewati puluhan anak tangga. Ia membawa satu ransel dan sebuah tas besar seberat hampir tujuh kilogram, jauh berbeda dengan temannya dari Kalimantan Tengah yang hanya membawa satu ransel kecil.
"Ibu kos, saya pamit ya. Terima kasih sudah baik sekali," ucap Rangka sambil menyerahkan uang sewa.
"Ah, tidak apa-apa, Nak. Uang yang kemarin sudah cukup kok. Hati-hati di jalan," balas ibu kos dengan senyum ramah.
Tak lama setelah itu, ponsel Rangka berbunyi. Wawan sudah menunggu di depan gang. Dengan susah payah, Rangka membawa barang-barangnya ke mobil. Keringat mulai mengucur di dahinya saat ia sampai di depan kendaraan.
"Wah, bawaannya banyak banget, Kak Rangka. Lagi pindahan?" canda Wawan sambil membantu memasukkan tas ke bagasi.
"Hehe, antisipasi aja, Wawan. Biar nggak kehabisan baju," balas Rangka dengan senyum kaku.
Selama perjalanan, Rangka lebih banyak diam. Sesekali Wawan mengajaknya berbicara.
"Kak, tahu rute ke rumah Kakek, kan?" tanya Wawan.
"Nggak tahu. Untung ada Google Maps, kalau nggak, kita kayak Dora bawa peta," jawab Rangka sambil terkekeh kecil.
Wawan tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. Namun, Rangka tetap terlihat canggung. Ia merasa bingung, harus memulai percakapan dari mana. Kepala Rangka dipenuhi oleh pikiran tentang apa yang akan ia katakan ketika bertemu kakek dan neneknya nanti. Sesekali ia menghela napas panjang, berharap kecanggungan ini hilang sebelum tiba di tujuan.
Perjalanan yang seharusnya memakan waktu satu jam lima puluh menit menjadi lebih lama karena jalanan padat dan kontur pegunungan yang berkelok. Dalam hati, Rangka berharap perjalanan ini tak segera berakhir. Ia butuh waktu untuk menyusun kata-kata saat bertemu keluarganya yang sudah enam tahun tidak ia temui. Ia bahkan sempat memikirkan kemungkinan untuk menulis daftar hal-hal yang ingin ia bicarakan agar suasana tidak canggung.
Singgah di Warung Paman
Mobil berhenti di sebuah warung kecil di tepi jurang. Di belakangnya hutan rimbun, dan di balik pepohonan tersebut terlihat jelas Gunung Welirang yang samar tertutup kabut awan. Dari kejauhan, Rangka melihat seorang pria yang ia kenali sebagai pamannya.
"Paman! Warungnya sekarang sudah bertingkat, ya?" sapa Rangka sambil tersenyum.
"Iya, alhamdulillah ada rezeki sedikit," jawab pamannya bangga. Mereka duduk menikmati rawon dan teh hangat, ditemani obrolan ringan. Bibinya, yang mengurus warung, datang menghampiri mereka sambil membawa piring tambahan.
"Kakek dari tadi tanya-tanya terus kapan Rangka sampai. Sudah nggak sabar mau ketemu cucunya," ujar sang bibi sambil tertawa kecil.
Rangka tersenyum kecil. Perasaan gugupnya perlahan mencair. Melihat paman dan bibinya yang menyambut dengan ramah membuatnya merasa lebih nyaman. Ia mendengarkan cerita-cerita ringan tentang perkembangan warung mereka yang kini semakin ramai. Rangka juga terkesan dengan bagaimana paman dan bibinya tetap saling membantu meski sibuk dengan usaha kecil mereka.
Setelah makan, mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah kakek dan neneknya. Paman sempat menitipkan sekotak makanan untuk kakek, membuat Rangka merasa semakin tidak sabar untuk segera tiba.
Pertemuan yang Menghangatkan
Mobil berhenti di kaki bukit tempat rumah kakek berdiri. Rumah itu terlihat tinggi, sekitar lima meter lebih tinggi dari pemukiman warga lainnya. Jalan menuju rumah cukup curam, dengan kemiringan sekitar 30 derajat dan lebar hanya dua meter.
"Nggak bisa dibawa naik, ya? Kita harus jalan kaki," kata Wawan sambil menggendong tas Rangka.
Dari kejauhan, Rangka melihat dua sosok yang sudah lama ia rindukan. Langkah demi langkah ia tapaki, hingga akhirnya ia berada di depan kakek dan neneknya. Mereka memeluk Rangka erat, sambil memberikan ciuman hangat di pipinya.
"Rangka, akhirnya kamu datang juga," ujar neneknya, suara yang sebelumnya terdengar marah kini berubah lembut.
"Maaf ya, Nek, baru bisa ke sini sekarang," balas Rangka dengan suara bergetar.
Kakeknya tersenyum lebar, mengelus kepala Rangka seperti saat ia masih kecil.
"Yang penting kamu sudah di sini. Nenekmu itu rindu, makanya agak cerewet tadi di telepon."
Semua canggung yang ia rasakan sebelumnya menghilang. Ketakutan akan dimarahi karena lama tak bertemu hanyalah bayangan semu. Di balik itu semua, keluarga selalu menyambutnya dengan kehangatan yang tak pernah pudar. Mereka menghabiskan sore itu dengan berbincang di teras rumah, membicarakan segala hal mulai dari masa kecil Rangka hingga rencana hidupnya ke depan. Rangka merasa betapa berharganya momen-momen ini, dan ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi membiarkan waktu memisahkan mereka terlalu lama.
Penulis: @wisnu.sept
0 Komentar